Ketua Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSM) ikut menanggapi, polemik Film Ice Cold yang tayang di Netflix yang memutar cerita soal pembunuhan Kopi Sianida Mirna Salihin.
“Saya ikut memperhatikan komentar-komentar warga di media sosial. Mereka menyebut Jesica sampai divonis pun tak mengakui menaruh racun,” kata Rommy Fibri saat dihubungi di Jakarta, Jumat.(6/10/2023).
Menurut Rommy, sepanjang film tersebut bukan dokumenter, maka akan dianggap fiksi. Bahkan dalam film dokumenter pun nara sumber yang dihadirkan bisa melihat dari sudut pandang masing-masing.
“Maka dalam sebuah film, tak bisa dijadikan rujukan sebuah kasus. Film tak bisa langsung otomatis bertentangan dengan kasus hukum. Karena yang membuat adegan di dalam film dengan versi si pembuatnya,” ujar Romny.
“Melihat film tak bisa langsung seperti fakta hukum, walaupun ada banyak footage gambar di persidangan. Karena footage persidangan itu terbuka, tetapi fakta hukumnya juga cerita tersendiri,” katanya.
Apa yang dikerjakan penyidik kepolisian, disajikan jaksa di pengadilan. Selama tak ada fakta baru yang berbeda dengan apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan, apalagi sudah sampai Kasasi di Mahkamah Agung, hanya menjadi cerita saja.
Bahwa di dalam Ice Cold lebih pada perdebatan versi masing-masing pihak itu cukup menarik
“Berbeda misalnya karya jurnalistik liputan investigasi yang mampu menghadirkan neo factum, atau fakta baru. Itu pun hanya menjadi catatan saja. Tidak otomatis bisa membuka (menggugat) putusan pengadilan. Kasus hukum bisa dibuka kembali jika ada temuan fakta baru,” ujar mantan wartawan Majalah Tempo ini.
Jadi menurut Rommy, di dalam film sutradara bisa memunculkan penggambaran versinya. Nara sumber pun juga dengan versinya masing-masing, ujar Rommy.
Penting untuk mencermati, terutama mereka yang terlibat polemik setelah menonton Film Ice Cold yang tayang di Netflik. Penonton harus bisa membedakan apa itu fakta hukum sebagai realitas yang utuh dengan pengambaran film, yang bisa memiliki angle yang berbeda.